Menyikapi FOMO (Fear of Missing Out): Mengenal Faktor dan Solusi Menghadapi Rasa Takut Ketinggalan

Pengenalan dan pemahaman akan FOMO serta penerapan strategi-strategi yang tepat dapat membantu individu menghadapi tekanan dan kecemasan yang dihasilkan oleh fenomena ini. Melalui pendekatan yang bijaksana, individu dapat membatasi dampak negatif FOMO terhadap kesejahteraan mental dan kehidupan sehari-hari mereka, sehingga memungkinkan mereka untuk lebih fokus pada pencapaian pribadi, menjalin hubungan yang lebih bermakna, dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.

- Sharshara Atiya Yury
Menyikapi FOMO (Fear of Missing Out): Mengenal Faktor dan Solusi Menghadapi Rasa Takut Ketinggalan

Menyikapi FOMO (Fear of Missing Out): Mengenal Faktor dan Solusi Menghadapi Rasa Takut Ketinggalan

Media sosial, sebagai salah satu elemen utama dalam era digital, memainkan peran penting dalam munculnya FOMO. Melalui platform media sosial, kita terus-menerus terhubung dengan kehidupan orang lain, terpapar oleh unggahan foto, cerita, dan obrolan online yang sering kali menampilkan kehidupan yang tampak menyenangkan, menarik, dan penuh pengalaman. Akibatnya, kita cenderung membandingkan diri dengan orang lain, mungkin merasa ketinggalan informasi atau pengalaman seru yang dialami mereka, yang kemudian menimbulkan kecemasan dan ketakutan akan kehilangan momen penting atau pengalaman yang bisa membuat hidup kita lebih baik.

FOMO juga dipicu oleh sikap konsumerisme dan budaya pamer. Iklan dan promosi sering menampilkan produk dan gaya hidup tertentu yang dianggap ideal, memperkuat keinginan kita untuk memiliki atau mengalami apa yang sedang populer. Hal ini membuat kita takut ketinggalan tren dan merasa perlu untuk selalu terlihat mengikuti arus, takut dicap ketinggalan zaman. Dorongan ini dapat memperparah perasaan FOMO, menambah tekanan untuk terus berada di dalam lingkaran tren dan kebutuhan untuk selalu "update" dengan apa yang sedang terjadi.

FOMO merupakan hasil dari kombinasi era digital dan budaya konsumerisme. Kecemasan dan ketakutan yang muncul akibat FOMO dapat memiliki dampak negatif pada kesehatan mental dan kehidupan sehari-hari, memperburuk kecemasan, ketidakpuasan, dan meningkatkan tekanan untuk terus mengejar standar yang ditetapkan oleh media sosial dan budaya konsumerisme. Oleh karena itu, penting untuk mengenali dan mengelola FOMO dengan bijak agar tidak mengganggu kesejahteraan mental dan kehidupan kita.

FOMO, atau "Fear of Missing Out," adalah fenomena psikologis yang ditandai oleh rasa takut tertinggal informasi. FOMO mencakup perasaan cemas, gelisah, dan takut akan kehilangan momen berharga yang dialami oleh teman atau kelompok teman sebaya, sedangkan individu yang mengalami FOMO tidak dapat terlibat dalam momen tersebut. Hal ini merupakan bentuk dari kecemasan yang ditandai dengan keinginan yang kuat untuk selalu mengetahui apa yang dilakukan oleh orang lain, terutama melalui media sosial. FOMO memiliki tiga indikator utama: ketakutan, kekhawatiran, dan kecemasan.

FoMO telah menjadi istilah kunci dalam budaya pop dalam beberapa tahun terakhir. Ini merujuk pada kebutuhan seseorang untuk tetap terhubung dengan media sosial dan situs lainnya agar tidak ketinggalan apa yang sedang terjadi atau apa yang dilakukan orang lain. FoMO juga melibatkan rasa cemas terhadap aktivitas yang mungkin bermanfaat yang sedang dilakukan orang lain ketika individu tersebut tidak berada di platform sosial yang sama. Dalam konteks ini, FoMO mencerminkan kekhawatiran dan kecemasan tentang ketidakhadiran atau ketidakterlibatan dalam momen atau aktivitas yang dirasakan sebagai penting oleh teman-teman atau kelompok sebaya.

Ciri-ciri dan Gejala FOMO

  1. Perilaku obsesif dalam mengecek media sosial FoMO (Fear of Missing Out) telah menjadi sorotan utama karena kaitannya dengan media sosial dan dampak negatifnya terhadap kesehatan mental. Fenomena FoMO telah terkait dengan peningkatan gejala depresi, kecemasan, stres, penurunan kesejahteraan psikologis, kecemasan sosial, sensitivitas terhadap penolakan, serta peningkatan risiko terhadap perilaku adiktif dan psikopatologi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa FoMO dapat mendorong pengguna untuk aktif menggunakan jejaring sosial, mengaksesnya melalui telepon seluler, dan bahkan berkontribusi pada kecanduan perilaku terkait dengan perangkat tersebut. Konsep FoMO sendiri berakar dari Teori Determinasi Diri (SDT), yang menyoroti kebutuhan dasar psikologis individu, seperti kompetensi, otonomi, dan keterhubungan. Dalam perspektif SDT, FoMO dipahami sebagai kurangnya regulasi diri yang efektif dan kurangnya kepuasan pada kebutuhan psikologis tersebut. Hasil penelitian di Samarinda menunjukkan bahwa ketakutan akan kehilangan momen pada remaja awal terjadi karena ketidakpuasan pada kebutuhan psikologis akan hubungan dengan orang lain dan kebutuhan akan pemahaman diri sendiri.
  2. Perasaan cemas dan iri melihat kebahagiaan orang lain di media sosial Merasa iri terhadap kebahagiaan yang terlihat dari unggahan teman di media sosial, merasa cemas ketika tidak tahu informasi terbaru, dan merasa ketinggalan zaman adalah ciri-ciri umum dari seseorang yang mengalami FOMO. Individu yang mengalami FOMO sering merasa iri dan sedih saat melihat teman-temannya membagikan momen bahagia, seperti liburan atau pembelian barang baru. Mereka cenderung ingin terus memantau aktivitas atau kegiatan teman-temannya di media sosial, bahkan sampai ke tingkat ketidaknyamanan. Hal ini dapat mengarah pada perilaku terus-menerus memeriksa ponsel untuk melihat notifikasi atau update terbaru, yang dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kondisi yang disebut nomophobia, yaitu ketakutan atau kecemasan ketika tidak memiliki akses ke ponsel seluler.
  3. Kesulitan untuk fokus pada kehidupan nyata Individu yang sangat dipengaruhi oleh FOMO cenderung lebih fokus pada pengakuan dan perhatian dari orang lain di media sosial daripada terlibat dalam interaksi sosial dalam kehidupan nyata. Mereka mungkin kurang memperhatikan perasaan dan kebutuhan orang di sekitar mereka, serta kurang empati terhadap pengalaman orang lain. Pengakuan dan pujian yang diterima di media sosial dianggap lebih penting daripada hubungan sosial dalam kehidupan nyata, dan jumlah "like" atau komentar positif dianggap sebagai sumber kebahagiaan dan kepuasan yang lebih besar. Namun, fokus pada pengakuan di media sosial dapat mengakibatkan individu melewatkan interaksi sosial yang sebenarnya dan hubungan yang lebih mendalam dengan orang-orang di sekitar mereka, mengurangi kualitas dan kedalaman hubungan sosial mereka. Ketergantungan pada media sosial juga dapat membuat individu mengabaikan kehidupan nyata mereka, lebih memilih terlibat dalam aktivitas online daripada berinteraksi langsung dengan teman, keluarga, atau kolega.
  4. Perasaan tidak puas dengan pencapaian diri sendiri Menurut kajian teoretis yang disampaikan oleh Andrew K. Przyblylski, FoMO dipicu oleh perasaan ketidakpuasan dan ketidakbahagiaan terhadap diri sendiri. Kecemasan yang muncul karena takut tertinggal dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam prestasi dan kesuksesan, merupakan bagian dari FoMO yang juga dapat memengaruhi motivasi belajar. Melihat kesuksesan dan prestasi orang lain di media sosial dapat membuat seseorang merasa rendah diri dan tidak puas dengan pencapaian mereka sendiri. Hal ini mengakibatkan penurunan motivasi belajar karena individu merasa tidak mampu atau tidak sebanding dengan pencapaian orang lain, sehingga menimbulkan perasaan kurangnya keberhasilan dan ketidakpuasan dalam diri mereka.
  5. Terus menerus mencari validasi dari orang lain Media sosial telah menciptakan budaya "over sharing" di mana pengguna cenderung membagikan setiap detail kehidupan mereka untuk mempertahankan citra online, mencari perhatian, dan validasi dari orang lain. Fenomena ini merupakan bentuk dari apa yang disebut sebagai "kediktatoran kebahagiaan," di mana individu merasa tergoda untuk mengejar gambaran sempurna kebahagiaan yang ditampilkan di media sosial. Janji-janji tersembunyi media sosial untuk membantu kita berbagi pemikiran dan kehidupan di seluruh dunia membuat setiap orang merasa penting dan memberikan penilaian. Namun, upaya terus-menerus untuk mendapatkan validasi ini dapat dengan cepat menjadi kecanduan, yang berpotensi merusak kesehatan psikologis individu karena meningkatkan kecemasan, ketidakpuasan diri, dan ketergantungan pada pengakuan dari orang lain.

Temuan menunjukkan bahwa nomophobia, ketakutan akan kehilangan akses ke ponsel seluler, terkait erat dengan FOMO karena kebanyakan anak muda saat ini sangat terhubung dengan orang lain melalui identitas dan kehidupan sosial mereka di media sosial, dan mereka mencari validasi dan pengakuan dari luar. Namun, dengan bertambahnya usia, kecenderungan nomophobia cenderung menurun, terutama dalam hal frekuensi penggunaan smartphone. Ini mungkin disebabkan oleh perubahan prioritas dan peran dalam kehidupan, serta perasaan lebih terpenuhi dengan hubungan sosial dan identitas yang lebih mapan. Meskipun demikian, kaitan antara nomophobia dan FOMO tetap kuat, menunjukkan bahwa ketakutan akan ketinggalan dalam hubungan sosial online masih mempengaruhi perilaku pengguna teknologi, terutama di kalangan yang lebih muda.

Faktor-faktor yang Menyebabkan FOMO

Menurut JWT Intelligence , terdapat beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya sindrom Fear of Missing Out (FOMO), yaitu:
  1. keterbukaan informasi di media sosial menyebabkan budaya yang awalnya bersifat privasi berubah menjadi lebih terbuka dan universal, memunculkan dorongan untuk terus memperoleh informasi terbaru.
  2. Ketidak penuhan kebutuhan psikologis akan hubungan (relatedness) membuat individu cenderung mencari tahu apa yang dilakukan orang lain, merasa terhubung, dan memiliki rasa kebersamaan.
  3. Ketidakpenuhan kebutuhan psikologis akan diri sendiri (self) dapat menurunkan tingkat kepuasan hidup dan meningkatkan perasaan cemas. Selanjutnya, fenomena social one-upmanship mendorong individu untuk memamerkan pencapaian dan hal-hal menyenangkan di media sosial. Fitur hashtag memungkinkan individu untuk terlibat dalam topik yang sedang populer, sementara kondisi deprivasi-relatif muncul ketika individu membandingkan diri mereka dengan orang lain di media sosial. Stimulus untuk mengetahui informasi melalui algoritma media sosial juga berkontribusi pada terjadinya FOMO, karena setiap pemikiran yang muncul berpotensi untuk menjadi headline, memicu keinginan untuk terus terhubung dan terinformasi.

Menurut Przybylski dan rekan, faktor-faktor yang menyebabkan Fear of Missing Out (FOMO) terdiri dari dua aspek utama.

  1. Ketidak penuhan kebutuhan psikologis akan relatedness, di mana individu merasa kebutuhan untuk merasakan koneksi, tergabung, dan diterima dalam aktivitas sosial dengan orang lain. Ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi, individu dapat merasa cemas dan konflik internal muncul karena merasa tidak turut serta dalam masyarakat.
  2. Ketidak penuhan kebutuhan psikologis akan self, yang mencakup kompetensi (competence) dan otonomi (autonomy). Kompetensi mengacu pada keefektifan individu dalam interaksi sosial, sementara otonomi adalah pengalaman individu dalam merasakan pilihan, dukungan, dan kebebasan. Ketidak puasan dalam hal ini mendorong individu untuk mencari pemenuhan melalui media sosial, sehingga mereka terus berusaha untuk mengetahui apa yang terjadi pada orang lain melalui platform tersebut.

Dengan demikian, FOMO dapat dipahami sebagai hasil dari ketidakpuasan terhadap kebutuhan psikologis akan hubungan dengan orang lain dan diri sendiri, yang memicu dorongan untuk terus terlibat dan terhubung dengan aktivitas orang lain di media sosial.

Cara Mengatasi FOMO

Berdasarkan temuan penelitian, ada beberapa strategi yang dapat membantu mengatasi Fear of Missing Out (FOMO).

  1. Individu perlu membatasi waktu penggunaan media sosial dengan menetapkan batasan waktu harian atau menggunakan aplikasi yang dapat membatasi akses pada waktu tertentu.
  2. Meningkatkan kesadaran diri terhadap pikiran dan perasaan terkait FOMO, sehingga mereka dapat mengembangkan strategi untuk mengatasi rasa cemas dan kekhawatiran yang muncul.
  3. Fokus pada pencapaian dan tujuan pribadi, bukan membandingkan diri dengan orang lain di media sosial.
  4. Mencari dukungan sosial dari teman, keluarga, atau konselor jika mengalami kesulitan.
  5. Meningkatkan manajemen waktu untuk menyelesaikan tugas dan belajar dengan efektif.
  6. Menjalani gaya hidup sehat dengan berolahraga, makan makanan sehat, dan cukup tidur, yang dapat membantu menjaga kesehatan fisik dan mental mahasiswa serta meningkatkan kualitas belajar mereka secara keseluruhan. Dengan menerapkan strategi-strategi ini, diharapkan mahasiswa dapat mengelola FOMO dengan lebih efektif dan meningkatkan kualitas belajar mereka. Kesimpulan

Dalam era digital yang didominasi oleh media sosial dan budaya konsumerisme, fenomena FOMO (Fear of Missing Out) telah menjadi semakin menonjol. FOMO merupakan rasa takut tertinggal informasi yang ditandai oleh kecemasan, kekhawatiran, dan ketakutan akan kehilangan momen berharga yang dialami oleh orang lain. Gejala FOMO mencakup perilaku obsesif dalam mengecek media sosial, perasaan cemas dan iri melihat kebahagiaan orang lain, kesulitan untuk fokus pada kehidupan nyata, perasaan tidak puas dengan pencapaian diri sendiri, dan terus-menerus mencari validasi dari orang lain. Faktor-faktor yang menyebabkan FOMO termasuk ketidakpuasan terhadap kebutuhan psikologis akan hubungan dan diri sendiri, budaya pamer di media sosial, dan stimulasi dari algoritma media sosial. Untuk mengatasi FOMO, strategi-strategi seperti membatasi waktu penggunaan media sosial, meningkatkan kesadaran diri, fokus pada pencapaian dan tujuan pribadi, mencari dukungan sosial, meningkatkan manajemen waktu, dan menjalani gaya hidup sehat dapat membantu individu mengelola FOMO dengan lebih efektif.

Pengenalan dan pemahaman akan FOMO serta penerapan strategi-strategi yang tepat dapat membantu individu menghadapi tekanan dan kecemasan yang dihasilkan oleh fenomena ini. Melalui pendekatan yang bijaksana, individu dapat membatasi dampak negatif FOMO terhadap kesejahteraan mental dan kehidupan sehari-hari mereka, sehingga memungkinkan mereka untuk lebih fokus pada pencapaian pribadi, menjalin hubungan yang lebih bermakna, dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.