Kurikulum Merdeka: Pendidikan Kaum Tertindas yang Berevolusi Menjadi Pendidikan yang Memerdekakan

Kurikulum Merdeka, sebuah terobosan baru dalam dunia pendidikan Indonesia, digaungkan sebagai jawaban atas kebuntuan sistem pendidikan konvensional. Di balik janjinya untuk memerdekakan, pertanyaan kritis muncul: Apakah Kurikulum Merdeka benar-benar membebaskan atau sekadar ilusi?

- Nastiti Izzah Adi Thifali
Kurikulum Merdeka: Pendidikan Kaum Tertindas yang Berevolusi Menjadi Pendidikan yang Memerdekakan

Kurikulum Merdeka: Pendidikan Kaum Tertindas yang Berevolusi Menjadi Pendidikan yang Memerdekakan

Kurikulum Merdeka, sebuah terobosan baru dalam dunia pendidikan Indonesia, digaungkan sebagai jawaban atas kebuntuan sistem pendidikan konvensional. Di balik janjinya untuk memerdekakan, pertanyaan kritis muncul: Apakah Kurikulum Merdeka benar-benar membebaskan atau sekadar ilusi?

Artikel ini akan mengupas problematika pendidikan kaum tertindas dan mengantarkan pembaca menuju gerbang pendidikan yang memerdekakan. Sebuah refleksi kritis disertai pandangan baru akan membuka jalan menuju transformasi pendidikan yang lebih adil dan mencerahkan.

 Pendidikan Kaum Tertindas: Sejarah Singkat

Pendidikan, sebuah kata yang sarat makna dan harapan. Di balik tembok-tembok sekolah, terpancar cita-cita dan mimpi generasi penerus bangsa. Namun, di balik gemerlapnya dunia pendidikan, terdapat sisi kelam yang tak jarang terabaikan: ketimpangan dan penindasan.

Pendidikan kaum tertindas, sebuah frasa yang menggemakan realitas pahit. Di mana akses pendidikan dibungkam, suara kritis dibungkam, dan potensi terkubur dalam ketakutan. Sistem pendidikan yang seharusnya menjadi alat pembebasan, justru menjadi alat penindasan, melanggengkan status quo dan membungkam suara-suara yang berani berbeda.

Sejarah mencatat, bagaimana pendidikan telah digunakan sebagai alat kontrol dan dominasi. Di masa kolonialisme, pendidikan difungsikan untuk mencetak tenaga kerja murah dan melestarikan mentalitas budak. Di masa otoritarianisme, pendidikan dipolitisasi untuk menanamkan ideologi tunggal dan menindas pemikiran kritis.

Namun, semangat perlawanan tak pernah padam. Pada abad ke-19 dan 20, muncullah gerakan-gerakan yang memperjuangkan hak pendidikan bagi kaum tertindas. Tokoh-tokoh seperti Paulo Freire, bell hooks, dan John Dewey mempelopori konsep pendidikan yang membebaskan (liberatory education) yang bertujuan memberdayakan kaum tertindas dan mengantarkan mereka menuju kesetaraan.

 Evolusi Menuju Pendidikan yang Memerdekakan

Paulo Freire, dalam bukunya "Pedagogi Kaum Tertindas", mengecam sistem pendidikan tradisional yang menindas dan hanya memindahkan pengetahuan secara pasif dari guru ke murid. Ia mencetuskan "pedagogi pembebasan" yang menekankan dialog dan kerjasama, di mana guru berperan sebagai fasilitator dan murid didorong menjadi pembelajar aktif dan kritis.

Konsep Freire tersebut telah menginspirasi banyak gerakan pendidikan di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, misalnya, konsep ini diadopsi oleh Ki Hajar Dewantara, pendiri Taman Siswa, dalam mengembangkan sistem pendidikan nasional yang berpusat pada murid.

Pendidikan yang membebaskan, seperti yang diimpikan oleh Freire dan Ki Hajar Dewantara, bukanlah utopia. Ia adalah sebuah cita-cita yang perlu diperjuangkan. Untuk mewujudkannya, diperlukan perubahan mendasar dalam sistem pendidikan, mulai dari kurikulum, metode pembelajaran, hingga peran guru dan murid.

Membumikan Konsep Asih, Asuh, Asah Ki Hajar Dewantara

Kurikulum Merdeka, sebuah terobosan baru dalam dunia pendidikan Indonesia, mengusung jargon "Merdeka Belajar" dan "Berpihak pada Murid". Semangat ini mengingatkan kita pada perjuangan pendidikan kaum tertindas yang berevolusi menjadi pendidikan yang memerdekakan, sejalan dengan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara yang menekankan Asih, Asuh, Asah.

Kurikulum Merdeka, dengan fokus pada pembelajaran yang berpusat pada murid, kreatif, dan inovatif, memiliki potensi untuk mengantarkan pendidikan Indonesia menuju era yang lebih memerdekakan. Hal ini sejalan dengan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara yang menekankan Asih, Asuh, Asah.

Asih menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang dalam proses belajar mengajar. Guru diharapkan mampu menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan penuh kasih sayang bagi peserta didiknya. Asuh memberikan bimbingan dan arahan kepada peserta didik agar mereka dapat berkembang dengan optimal. Guru berperan sebagai fasilitator yang membantu peserta didik dalam menemukan potensi dan bakat mereka. Asah mengembangkan kemampuan dan potensi peserta didik melalui proses belajar mengajar yang kreatif dan inovatif. Guru diharapkan terus meningkatkan kemampuan personalnya untuk terus berkembang seiring perkembangan zaman.

Dalam konteks pendidikan yang saat ini, konsep asih asuh asah Ki Hajar Dewantara mengakibatkan banyak pendidikan yang mengacu pada sistem among, yang mencakup pendidikan yang mengacu pada kemerdekaan fisik, akal, rohani, dan sosial. Sistem ini mencakup tiga dimensi, yaitu Ing Ngarsa Sung Tuladha (guru didepan sebagai pemberi teladan bagi peserta diidk dalam berperilaku dan bertindak), Ing Madya Mangun Karsa (guru di tengah berperan sebagai motivator dan fasilitator yang mendorong peserta didiknya untuk berkreasi dan menemukan ide-idenya sendiri), dan Tut Wuri Handayani (guru di belakang memberikan bimbingan dan dukungan kepada peserta didik sesuai dengan kebutuhan dan potensinya).

Konsep "Asih Asuh Asah" Ki Hajar Dewantara merupakan landasan yang kuat untuk membangun pendidikan di era sekarang. Dengan menerapkannya pada pendidikan modern, siswa dapat terbantu untuk menjadi pribadi yang merdeka, berkarakter, dan siap menghadapi tantangan masa depan.

Harapan Baru untuk Pendidikan yang Memerdekakan: Sebuah Perjalanan Panjang

Setelah disajikan sejarah singkat pendidikan kaum tertindas hingga perwujudan dari pemikiran salah satu tokoh pendidikan Inondesia yang sejalan dengan pendidikan yang memerdekakan. Optimisme kita mulai tersulut oleh konsep-konsep intens para pejuang pendidikan Indonesia. Namun, marilah kembali kita pikirkan pertanyaan awal: Apakah Kurikulum Merdeka benar-benar membebaskan atau sekadar ilusi?

Benarkah semua murid memiliki akses yang sama terhadap pendidikan yang memerdekakan di bawah Kurikulum Merdeka? Bagaimana nasib murid-murid di daerah terpencil dengan keterbatasan infrastruktur dan sumber daya? Bagaimana pula dengan murid-murid dari keluarga kurang mampu yang masih terbebani oleh biaya pendidikan?

Kekhawatiran muncul terkait kesiapan guru, infrastruktur, dan kesenjangan akses pendidikan. Beban administrasi yang berlebihan, minimnya pelatihan guru, dan infrastruktur yang belum memadai dikhawatirkan akan menghambat implementasi Kurikulum Merdeka.

Dilihat dari faktor kesiapan pendidik, tidak sedikit guru yang masih dalam tahap adaptasi perubahan cara mengajar sehingga tertinggal dalam memahami esensi dan tujuan utama dari Kurikulum Merdeka. Tidak banyak juga dari mereka yang terbatas dalam literasi digital. Ditambah lagi beban kerja guru dalam menyusun perangkat pembelajaran dengan berbagai tugas administratifnya.

Di sisi lain, peserta didik seringkali dianggap kurang berusaha untuk aktif dalam pembelajaran. Mereka diberi label pasif apabila tidak beropini pada penjelasan guru terhadap suatu materi. Padahal jika saja guru memberikan sebuah ruang kepercayaan dan kebebasan bagi mereka untuk berekspresi maka ada kemungkinan kelas menjadi lebih hidup.

Lantas, dibutuhkan kerjasama yang erat antara pendidik dan peserta didik menjadi landasan penting dalam mewujudkan pembelajaran yan gefektif dan bermakna. Pendidik sebagai fasilitator harus memiliki banyak referensi demi mewujudkan metode pembelajaran yang sesuai dengan karaktertistik yang berbeda pada setiap kelas yang diajarnya. Sedangkan peserta didik disarankan untuk lebih menghargai alokasi waktu pembelajaran dan menggunakannya secara optimal untuk menggali potensi mereka.

Sebagai pejuang pendidikan Indonesia, kita diwajibkan untuk mempersiapkan diri dalam menepis kekhawatiran-kekhawatiran di atas menjadi sebuah bekal menuju pendidikan era baru. Kurikulum Merdeka, bagaikan benih yang ditanam di tanah tandus. Ia membutuhkan perhatian khusus dari pengelola tanah berupa kebijakan yang konsisten, pelatihan yang memadai, dan perubahan paradigma dari seluruh elemen pendidikan.

Kita harus memastikan akses yang sama bagi semua murid, memberdayakan guru, menciptakan lingkungan belajar yang aman dan inklusif, serta membangun budaya belajar yang sesuai dengan karakteristik dan gaya belajar pembelajar abad ke-21. Dengan itu, diharapkan Kurikulum Merdeka dapat menjelma menjadi kenyataan, bukan ilusi.

Membangun Pendidikan yang Memerdekakan: Sebuah Tanggung Jawab Bersama

Membangun pendidikan yang memerdekakan bukanlah tugas yang mudah. Diperlukan upaya kolektif dari semua pihak, mulai dari pemerintah, sekolah, guru, orang tua, hingga masyarakat. Ini adalah tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat. Kita harus bersatu padu untuk melawan segala bentuk penindasan dan diskriminasi dalam pendidikan.

Pemerintah perlu melakukan reformasi sistem pendidikan secara menyeluruh, mulai dari kurikulum, infrastruktur, hingga pemerataan akses pendidikan. Sekolah dan guru perlu berbenah diri dengan menerapkan metode pembelajaran yang inovatif dan berpihak pada kebutuhan peserta didik. Orang tua dan masyarakat pun perlu memberikan dukungan dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak-anak.

Tanpa komitmen dan upaya nyata, Kurikulum Merdeka terancam menjadi jargon semata, tanpa mampu mengantarkan pendidikan Indonesia menuju kemerdekaan yang sesungguhnya. Perjalanan menuju pendidikan yang memerdekakan masih panjang dan penuh tantangan. Kita harus berani mendekonstruksi sistem yang kaku, membuka ruang untuk inovasi, dan mempercayai potensi murid untuk berkembang.

Marilah kita bergandengan tangan untuk mewujudkan cita-cita pendidikan yang memerdekakan. Pendidikan yang mencerdaskan otak, membebaskan manusia dari belenggu penindasan dan ketidakadilan, serta mengantarkan bangsa ini menuju masa depan yang gemilang.

Nastiti Izzah Adi Thifali
(PPG Prajabatan Gelombang 2 Tahun 2023 – Bahasa Jawa – Universitas Negeri Surabaya)